Pembunuh, Pemutilasi, dan Pelakor: Laeli Atik Supriyatin dan 'Dosa' Terbesarnya

Dari ketiga kejahatan yang dilakukan oleh Laeli Atik Supriyatin dengan pasangannya (entah siri atau kumpul kebo--beritanya masih simpang siur), sepertinya kejahatannya yang paling tak termaafkan adalah melakor (sepertinya sekarang bisa menjadi kata kerja) atau merebut suami orang. 

Membunuh adalah bentuk kejahatan yang, sayangnya, kita sering dengar.

Memutilasi juga bentuk kejahatan yang tak asing lagi, meskipun terdengar sangat sadis, jauh lebih sadis dari membunuh saja. Aduh, berbicara tingkat kesadisan, semua hal yang dilakukan tanpa izin si korban adalah sadis! 

Namun, sepertinya yang paling sadis dan yang tersadis adalah menjadi pelakor yang juga membunuh dan memutilasi korbannya.

Itulah sebabnya kasus Laeli Atik Supriyatin ini sangat menarik perhatian banyak orang. Padahal, ia tak sendiri melakukan kejahatan ini. Berdua dengan lelaki bernama Djumadil Al Fajri.

(Perhatikan nama keduanya, sungguh indah, bukan? Sebagai orang tua saya paham betapa proses pemberian nama pada anak adalah sebuah untaian doa penuh makna dan harap untuk masa depan mereka). 

Ya, BERDUA.

NAMUN...

Yang menjadi sorotan adalah Laeli, yang katanya berotak encer dan lulusan universitas kenamaan. Bahkan kuliahnya pun dibiayai beasiswa nasional yang terkenal cukup selektif dalam memilih penerimanya. 

Inilah yang ingin saya sorot sedikit. 

Tidak. Saya sama sekali tidak membela Laeli. Dia salah! Dia telah berdosa dari sudut pandang agama. Tak ada pembenaran apapun atas apa yang dilakukannya.

Namun, tetap, jangan salahkan ia seorang. Jangan hanya fokus pada Laeli hanya karena ia telah dicap pelakor sebelumnya.

Cermatilah kata PELAKOR. Artinya adalah Perebut Suami Orang. Suami, lho, yang direbut. Bukan barang! Artinya, yang direbut: PUNYA KUASA ATAS DIRINYA. PUNYA KUASA UNTUK MENOLAK UNTUK DIREBUT. 

Jadi... Ketika berhasil direbut? Ya, itu karena si suami MAU dan memang berniat untuk selingkuh.

Sampai sini paham, kan?

Maaf, saya tidak setuju dengan banyak perempuan yang lebih fokus pada si pelakor. 

Tentu juga saya tak membela pelakor. Salah besar jika seorang perempuan memaksakan kehendaknya pada seseorang yang telah berkomitmen. (Saya juga pernah diganggu pelakor, dan saya tak kuasa menahan rasa jijik terhadap perempuan itu. Tapi ya itu... balik lagi ke suaminya, kan? Mau atau tidak mau dengan si pelakor? Kalau tidak mau, dia tidak akan berhasil direbut si pelakor. Paham, kan?)

Jadi, Laeli BERSALAH. Ya. Tapi, jangan lupa. Ada dua pelaku di sini. Lelaki bernama Djumadil Al Fajri ini, yang namanya sangat indah ini, telah memilih untuk meninggalkan istri dan anak-anaknya dan kemudian bersekongkol dengan Laeli untuk membunuh dengan keji seorang pria kesepian yang hartawan. 

Motifnya jelas UANG! 

Mereka berdua bersalah dan patut dihukum seadil-adilnya. Tapi, sekali lagi, jangan hanya fokus pada si pelakor. Kejahatan ini direncanakan dan dilakukan berdua. Mereka berdua patut dihukum dan diberi sangsi sosial, tapi bukan hanya Laeli seorang.

Comments

Popular posts from this blog

Memboyong Keluarga Kuliah di Luar Negeri: Bagian 1

Is PhD REALLY a Lonely Journey?: My "Crowded" Journey

Jangan asal SCOPUS®