Posts

Showing posts from 2019

Satu Beasiswa untuk Pengeluaran Berjamaah (Berhemat Bagian 1)

Image
Photo by  Steve Johnson  on  Unsplash Judul ini pas sekali bagi mereka yang bertanya-tanya, cukupkah beasiswa untuk satu orang saja membiayai seluruh keluarga? Jawabannya CUKUP-CUKUP saja, selama kita pintar mengatur keuangan. Perlu digarisbawahi, beasiswa kampus seperti yang saya peroleh ini tidak memberikan bantuan untuk pasangan dan anak, walaupun jumlahnya agak sedikit lebih besar ( nggak ngaruh, sungguh! ) dibanding beasiswa yang diberikan oleh pemerintah Indonesia.  Jadi, harus benar-benar pintar mengatur uang dan... harus percaya bahwa ada yang Maha Mengatur yang jauh lebih tahu kebutuhan kita.  Jadi, jangan pernah takut tidak cukup! Saya akan pecah pengeluaran bulanan di sini ke dalam beberapa bagian. Pengeluaran yang paling besar tentu adalah sewa rumah, apalagi kalau bawa keluarga.  Jika berangkat sendirian, kita bisa tinggal bareng-bareng mahasiswa lain.  Jadi, biaya sewa rumahnya bisa dibagi beberapa orang.  Ringan, kan, jadinya? Nah , kalau berjamaah seperti

Cara Menghadapi Rasisme

Image
http://www.banderasnews.com/0704/nw-englishonly.htm Judulnya sangat terkesan prosedural, ya?  Padahal tentu tak ada yang prosedural dalam kasus seperti ini.  Apalagi jika mengalami diskriminasi berdasarkan gender, ras, agama, dan lainnya, siapa yang bisa berpikir tentang prosedur?  Yang ada pasti kita terlalu kaget untuk bereaksi. Prosedurnya saya simpan di bagian paling bawah, ya?  Baca terus sampai selesai :) Pengalaman paling pertama mendapat diskriminasi itu saya dapatkan sewaktu di Amerika, tepatnya di sebuah supermarket di New Mexico, sekitar 7 tahun yang lalu.  (Sebenarnya mungkin bukan yang paling pertama, tapi setidaknya yang paling berkesan). Saat itu saya juga terlalu kaget untuk bisa merespons dengan "tepat".  Saya hanya bisa melongo (tak menyadari bahwa saya baru saja mengalami diskriminasi) dan lama setelahnya barulah it downed upon me that I was just being discriminated against my hijab.   Menariknya, sebenarnya orang yang melakukan diskriminasi te

A Letter to My Fellow PhDs

Dear fellow PhDs, Please, don't put too much pressure on yourself.  Take a break when you feel you need to. There are days when I am so fired up to write an article, read a couple of articles, do more reading on chapters of a book, and so on and so forth.  In other words, there are days when I feel that pressure is good.  I enjoy it!  These days remind me of what many psychologists said that stress is a positive thing as long as we can manage it well.  Stress pumps our heart and motivates us to find a way out, to get it over. But, there are also days when I am not particularly keen on doing anything related to my PhD.  When I feel the pressure is overbearing, too much, and I don't like it.  When I feel I can't manage the stress, and I need a break. Is it normal? Totally! Yeah, I do feel guilty a little bit because I don't read or write as much as I wanted. But, I tend to see it as a highly deserved break. Everyone needs a break, PhD students are not an excep

Kesempatan dan Keberhasilan: Gagal Itu Benar-Benar Biasa

Image
Setiap keberhasilan yang diraih tidak pernah lepas dari keberanian untuk mengambil setiap kesempatan yang Allah berikan. Jangan salahkan nasib jika kita tidak "seberhasil" yang kita inginkan. Mungkin kita sering melewatkan kesempatan yang datang? Saya berbicara seperti ini bukan karena merasa diri ini berhasil atau istilah kerennya "sukses". Keberhasilan itu adalah sesuatu yang relatif, dan sebagai manusia sudah fitrahnya kita tidak akan pernah merasa "cukup berhasil". Pasti akan ada banyak hal yang ingin kita raih lagi dalam hidup ini. Namun, sebagai manusia saya tidak ingin kufur nikmat. Saya betul-betul mensyukuri keberhasilan apapun yang telah saya raih, sekecil apapun itu. Besar atau kecilnya keberhasilan baiknya cukup kita yang mengukur agar tak lupa bersyukur. Saya juga bersyukur sekali memiliki pasangan yang selalu berkata, "Ayo, ambil aja." "Ikut aja." "Coba aja." setiap kali saya bercerita padanya bah

Memboyong Keluarga Kuliah di Luar Negeri: Bagian 3 (Looking for Home Sweet Home!)

Image
OSHC sudah di tangan. Anak sudah terdaftar di sekolah. Masih ada lagikah yang harus dilakukan? Banyak, hiks. Tapi, tenang. Sisanya ya tetek bengek  seperti tiket, bungkus-bungkus barang, dan seterusnya. Selain persiapan keberangkatan yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat logistik, ada satu bagian dari persiapan ini yang ingin saya garis bawahi, yaitu: RUMAH! PINDAHAN Rumah juga adalah salah satu alasan yang membuat banyak pelajar berkeluarga memutuskan untuk berangkat sendirian dulu. Kenapa? Karena . . . mendapatkan rumah sewa di Australia ini susahnya luar biasa, kawan! Sesusah apa, sih ? Sekedar ilustrasi, lamaran saya EMPAT kali ditolak oleh agen penyewa properti, atau istilah di sini real estate agents . Saya sih CUMA empat kali! Teman-teman dan kenalan saya bahkan ada yang sampai hampir sepuluh kali! Apa yang membuatnya susah? 1. Persaingan yang ketat untuk mendapatkan rumah sewa Ya, di beberapa daerah di Australia, pertumbuhan pendudu

Memboyong Keluarga Kuliah di Luar Negeri: Bagian 2 (Sekolah Anak!!)

Image
OSHC atau Overseas Student Health Cover untuk keluarga sudah terpenuhi. Selanjutnya apa? Bagi yang akan memboyong anak-anak dengan usia sekolah (5 tahun standar Tasmania dan 6 tahun standar beberapa negara bagian Australia lainnya), maka sekolah anak menjadi prioritas . Sekolah anak juga menjadi alasan banyak diantara penerima beasiswa memilih untuk berangkat sendirian terlebih dulu, baru memboyong keluarganya. Selain itu, beberapa pemberi beasiswa seperti AAS dan Fulbright mensyaratkan masa tunggu minimal 6 bulan bagi penerima beasiswa untuk membawa keluarga serta. Jadi, masuk akal mengapa harus ada masa tunggu ini. Karena... kita harus memastikan bahwa semuanya siap untuk keluarga kita pada saat mereka datang. Untuk Australia, syarat membuat visa untuk anak yang sudah usia masuk sekolah adalah anak sudah terdaftar di sekolah!  Sekedar berbagi pengalaman pribadi, saya merasa beruntung karena saya bisa memboyong keluarga (suami dan anak-anak) secara langsung tanpa har

Memboyong Keluarga Kuliah di Luar Negeri: Bagian 1

Image
Postingan kali ini akan membahas tentang apa saja yang harus dipersiapkan untuk membawa keluarga ikut serta kita kuliah di luar negeri, khususnya Australia. (Persyaratan tiap negara berbeda, ya?) Dari semua persiapan keberangkatan S3 di Australia, membawa keluarga adalah yang paling ribet ! Jujur saja.  Dulu, sewaktu berangkat ke Amerika, walaupun sudah menikah, saya berangkat sendirian. Tak ada beban, dan cukup mengurusi diri sendiri saja.  Tapi, sekarang? Buntutnya sudah ada dua, kalau kata orang Sunda. Ditambah satu kepala. Jadi, ribetnya lumayaan.... Saya akan bagi postingan tentang memboyong keluarga kuliah di luar negeri ini ke dalam beberapa bagian.  Di bagian ini, saya akan menuliskan tentang syarat Dependent  Visa atau visa anak dan suami untuk ke Australia.  Terus terang, persyaratannya lumayan ribet dan menyita waktu. Tapi, semua worth it pada akhirnya! Untuk melamar visa saya dan keluarga, saya dibantu oleh IDP, salah satu lembaga yang khusu

Beasiswa kan gratis, kok masih butuh modal, sih?

Jangan salah, ya, untuk mendapatkan beasiswa kita harus mengeluarkan modal dalam bentuk rupiah atau dolar :D. Niat yang kuat, tekad yang bulat, semangat yang tinggi, doa dari orang tua, dan restu dari suami/istri (dan anak) memang sangat penting, tapi tidaklah cukup. Butuh uang untuk apa? Kan beasiswa gratis? Untuk menjemputnya, tentu saja. Beasiswa kan ada persyaratannya. Nah, untuk memenuhi persyaratannya ini kita butuh modal yang lumayan, tergantung kondisi keuangan kita. Okay! Yang paling pertama adalah mengeluarkan uang untuk mengikuti tes kemahiran berbahasa Inggris atau bahasa lainnya yang disyaratkan oleh beasiswa (tergantung negara tujuan). Tapi, biasanya bahasa Inggris yang paling umum. Berapa duit , sih ? TERGANTUNG. Tergantung jenis tes yang dipersyaratkan . Untuk beberapa beasiswa seperti AAS, Fulbright, Erasmus Mundus, dan lainnya ITP TOEFL cukup. Apa itu ITP TOEFL? Singkatan dari institutional TOEFL , tes ini hanya terdiri dari tiga jenis soal: Listening ,

Malaikat dari Texas (Si Iteung Saba Amerika, Bag. 1)

Image
Tulisan ini saya dedikasikan untuk Teteh sekeluarga yang telah menjadi lebih dari keluarga. Mungkin judulnya agak ekstrem. Malaikat turunnya dari langit, kalee ? Tentu saja. Namun, saya percaya bahwa Allah menurunkan malaikat ke dunia ini untuk membantu manusia dalam berbagai bentuk dan rupa. Salah satunya, ya, dalam rupa manusia. Pelangi dan hujan yang turun dari langit Sebenarnya sudah sejak lama sekali saya ingin menuliskan pengalaman yang sangat berharga dan menakjubkan ini. Tapi, apa daya, sibuk dan malas menjadi alasan. Cerita ini berhubungan dengan pengalaman saya dulu menjadi "Si Iteung Saba Amerika" (tunggu tulisan yang ini, ya?). Cerita yang takkan pernah bosan saya bagikan pada siapapun untuk menunjukkan bahwa orang baik itu bertebaran di muka bumi. Jadi, tahun 2010 yang lalu, si Iteung dari Garut ini saba Amerika. Saya yang waktu itu tak pernah pergi bahkan ke negeri tetangga sekalipun, seperti Malaysia dan Singapura, untuk pertama kalinya pergi ke

Menjadi Emak-Emak PhD

Kali ini tulisannya bernada "curhat." Banyak yang bertanya bagaimana caranya bisa kuliah S3 di luar negeri dengan dua anak (dan satu suami)? :D Bagaimana, ya? Rasanya seperti permen yang sudah tak lagi populer saat ini: Campur aduk, tapi lebih dominan manisnya dibanding asamnya :) Sebagai emak-emak, yang paling utama bagi saya adalah anak-anak dan keluarga. Itu sebabnya butuh waktu lama bagi saya (lama tidaknya sebenarnya relatif, ya?) untuk memutuskan saatnya saya kembali ke bangku kuliah. Pada saat melamar CPNS dosen 2013 lalu, saya sedang hamil. Saat lulus CPNS, saya baru melahirkan. Setelah melahirkan, saya menjalani profesi saya sebagai seorang dosen. Itu saja sudah berat, mengingat anak masih sangat kecil. Saya dan suami juga tinggal "sendirian" di Bandung, tanpa saudara dekat. Orang tua saya di Garut, dan saudara terdekat, terpisahkan jarak beberapa jam--tidak jauh sebenarnya, tapi mengingat Bandung adalah pusatnya kemacetan, dekatpun terasa sangat ja

Saat Pos-el Tak Kunjung Berbalas

Kemarin semangat menulis sedikit hilang. Tapi, berkat seekor wallaby yang muncul pagi-pagi di depan gedung di kampus, saya jadi bersemangat lagi. Sayang kamera tak di tangan, jadi tak sempat memfoto wallaby yang tersesat ke dalam kampus. Atau saya yang tersesat ke tempat yang dulunya adalah rumah bagi sang wallaby? Hm... Baiklah! Kembali pada kelanjutan topik seputar mengirim pos-el pada calon dosen pembimbing. Setelah pos-el terkirim pada dosen bidikan kita, pertanyaannya adalah berapa lama biasanya dosen tersebut akan membalas pos-el kita ? Tak ada jawaban pasti. Mungkin dibalas cepat , mungkin juga dibalas dengan lambat , atau tidak dibalas sama sekali . Jangan patah arang, ya? Dari total tiga pos-el yang saya kirim, satu tak dibalas sama sekali. Saya tidak memasukkannya ke dalam hati. Malah, saya sudah menduga ini akan terjadi. Mengapa? Ini dia beberapa alasan dosen tak menjawab pos-el kita: Pos-el kita masuk kotak 'spam', dan dosen yang bersangkutan tidak

Sebaik-baiknya pos-el adalah pos-el yang dikirim pada yang tertuju

Image
Sebaik-baiknya pos-el adalah pos-el yang dikirim pada yang tertuju Judul ini betul sekali--terilhami dari pepatah lama: "Sebaik-baiknya skripsi/tesis/disertasi adalah skripsi/tesis/disertasi" yang selesai. :) Jadi, jangan simpan pos-elnya di dalam kotak draft , ya? Sunting dan kirim! Baiklah. Untuk tulisan kali ini nadanya akan lebih bersifat teknis karena saya ingin berbagi cara menulis pos-el pada dosen calon pembimbing S3 di kampus luar negeri. Pertama dan utama : Pos-el ditulis dalam bahasa Inggris . Di sinilah kekhawatiran kita sebagai orang yang bukan penutur jati bahasa Inggris muncul. Yang ingin saya tekankan adalah: Jangankan kita, orang-orang yang merupakan penutur jati bahasa Inggris sendiri pun memiliki kekhawatiran sendiri dalam konteks ini. Kok bisa? Karena, bukan hanya bahasa yang menjadi soal--ketepatan tata bahasa dan penggunaan kata serta tanda baca. Namun, mereka umumnya khawatir dengan  etika/norma kesopanan dan isi  dari pos-elnya. Apa yang haru

Menyusuri Dunia Maya untuk Mencari Dosen Pembimbing

Alhamdulillaah , berkat respons positif dari rekan-rekan atas tulisan yang pertama, saya jadi termotivasi untuk menulis lagi :) Melanjutkan tulisan yang kemarin, kali ini saya akan membahas pengalaman saya mencari calon dosen pembimbing S3. Hm... baiklah. Seperti yang saya singgung sebelumnya, saya tak seberuntung beberapa rekan saya yang diperkenalkan langsung pada calon pembimbingnya oleh dosen senior/sejawat. Tentu proses perkenalan seperti ini sedikit mempersingkat perjalanan panjang meraih beasiswa luar negeri. Tapi, saya tak patah arang. ( Ciee... ) Bermodalkan kenekatan tingkat dewa, saya berusaha mencari sendiri dosen pembimbing S3 saya. Kelebihan dari proses ini adalah kepuasan yang luar biasa saat kita bisa berkenalan dengan dosen dari universitas lain dengan ilmu yang mumpuni di bidang yang kita minati. Semuanya dilakukan sendiri, tanpa bantuan siapapun. Nikmat, sungguh! Perjalananan panjang pun dimulai. Seperti dalam memulai perjalanan dalam arti harfiah, kita h

Kuliah (Lagi): Mencari Sebongkah Beasiswa

Baiklah, bismillaahirrahmaanirrahiim ... Ini adalah tulisan pertama sejak vakum dari tahun 2013 . Ke mana saja? Ke mana-mana, hehe... Banyak yang telah terjadi selama enam tahun ini: Punya anak ( dua lagi! ), lolos CPNS dosen, mengajar, meneliti, dan akhirnya mendapatkan kesempatan untuk menimba ilmu lagi! Katanya banyak? Iya, banyak sekali. Namun, apa daya, tulisan tak sampai. Untuk tulisan pertama sejak 'mati suri' ini, saya akan membagikan perjalanan saya dalam meraih kesempatan untuk menimba ilmu lagi di negeri kangguru. Semoga dapat sedikit menjawab pertanyaan dari rekan-rekan yang sedang berjuang juga meraih beasiswa S3. Semangat, teman! Pepatah lama "Banyak jalan menuju Roma" masih berlaku ternyata, Bang Rhoma! Juga tentu pepatah klise, "Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan." Benar adanya. Ya, jalur yang saya tempuh untuk mendapat beasiswa S3 di Australia ini berbeda dengan yang saya lalui untuk kuliah S2 di Amerika. Dulu, tanpa