Kesempatan dan Keberhasilan: Gagal Itu Benar-Benar Biasa


Setiap keberhasilan yang diraih tidak pernah lepas dari keberanian untuk mengambil setiap kesempatan yang Allah berikan. Jangan salahkan nasib jika kita tidak "seberhasil" yang kita inginkan. Mungkin kita sering melewatkan kesempatan yang datang?

Saya berbicara seperti ini bukan karena merasa diri ini berhasil atau istilah kerennya "sukses". Keberhasilan itu adalah sesuatu yang relatif, dan sebagai manusia sudah fitrahnya kita tidak akan pernah merasa "cukup berhasil". Pasti akan ada banyak hal yang ingin kita raih lagi dalam hidup ini.

Namun, sebagai manusia saya tidak ingin kufur nikmat. Saya betul-betul mensyukuri keberhasilan apapun yang telah saya raih, sekecil apapun itu.

Besar atau kecilnya keberhasilan baiknya cukup kita yang mengukur agar tak lupa bersyukur.

Saya juga bersyukur sekali memiliki pasangan yang selalu berkata, "Ayo, ambil aja." "Ikut aja." "Coba aja." setiap kali saya bercerita padanya bahwa ada perlombaan ini, undangan itu, dan kesempatan-kesempatan lainnya.

Mungkin tanpa dorongan darinya, banyak kesempatan yang terlewat begitu saja.

Saya ingin berbagi beberapa pengalaman saya yang berhasil meraih apa yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya hanya karena saya tak melewatkan begitu saja kesempatan yang datang.

Tentu ada pula kesempatan yang terlewat atau momen berharga lainnya yang tak sempat saya tuliskan di sini. Ada pula kesempatan yang saya sambut, tapi kemudian saya gagal meraihnya. Tak apa.

Kali ini saya akan bercerita tentang pengalaman 13 tahun yang lalu:

Menerbitkan novel


https://www.goodreads.com/book/show/13432404-diet-cinta

https://puspa-swara.com/product/i-wanna-be-your-wife

Siapa sangka, sepulang dari Kantor Jurusan Pend. Bahasa Inggris dalam rangka mengecek nilai (dulu nilai itu belum bisa diakses lewat web, ya? :D), saya secara tak sengaja melihat poster undangan perlombaan menulis novel teenlit dan chicklit.

Saya yang memang sangat senang menulis, langsung sumringah. Aduh, kalau saya bisa ikut lomba ini, pasti senang sekali rasanya. Menang atau kalah itu bukan masalah!

Sayapun bercerita pada Mamah tentang rencana ini. Meskipun beliau tentu mendukung, beliau berkata sepertinya tidak mungkin saya bisa mengikuti lomba ini. Uang dari mana? Ibu saya sudah terseok-seok secara keuangan. Mengumpulkan uang untuk membayar SPP saja sudah membuat Mamah ngos-ngosan.

(Alhamdulillaahnya, saya pernah mendapat bantuan beasiswa SPP. Walaupun hanya dapat untuk dua semester, saya betul-betul mensyukurinya. Kalau tidak salah, dulu namanya beasiswa PPA, ya?)

Mamah langsung angkat tangan dan tidak mendorong saya untuk mengikuti perlombaan itu. Alasannya? Ya, seperti dikatakan tadi. Uang dari mana untuk mencetak novelnya? Uang dari mana untuk merental komputer? (Dulu rental komputer masih ramai, ya. Komputer masih merupakan barang mewah, yang tentu saya tak punya). Uang dari mana untuk mencetaknya? Membeli kertasnya? Mengirimkannya? Uang ini, uang itu. Pahamlah saya betapa Mamah tak mampu lagi mendengar kata "uang", kecuali uang yang diterima :D

Walaupun agak kecewa, saya tak patah arang. Saya juga tak menyalahkan Mamah. Beliau baru saja mengeluarkan uang untuk membayar kosan saya. Lagipula, sebenarnya saya hanya menyampaikan ide saja, tidak bermaksud meminta bantuan uang. Bener, lho!

Karena . . . saya sudah tahu caranya agar saya dapat ikut lomba ini tanpa harus mengeluarkan uang!

Saya akan rental komputer gratisan pada teman yang sekarang menjadi suami saya. 

:D

Sewaktu saya bercerita pada "teman" saya itu, dia begitu bersemangat. Saya yang akan menjalaninya pun kalah semangat dari dia. Haha... Dia langsung menawarkan komputernya untuk dipakai. Bahkan printer-nya juga. Sungguh terharu.

Jadilah saya "merental" komputernya selama berhari-hari, atau mungkin lebih tepatnya berminggu-minggu, untuk menamatkan novel yang pertama.

Saya juga "merental" printer "teman" saya itu untuk mencetak novelnya yang berjumlah hampir 100 halaman!

Masalah berikutnya pun muncul: 

Saya tak ada uang untuk memperbanyak novel tersebut (syaratnya harus diperbanyak 3 kali). 
Saya juga tak ada uang untuk mengirimkan novelnya (dulu masih harus lewat pos, bukan pos-el). Hiks.

Lantas, apakah saya patah arang?

Tidak. Menyerah itu (hampir selalu) tidak ada dalam kamus saya.

Saya pun terpikir untuk mengunjungi Tante saya. Malu sebenarnya. Tapi, ya ampuun, saya tak ada lagi cara. 

Apa hubungannya mengunjungi Tante dengan uang cetak dan kirim novel?

Biasanya, saat pulang, Tante akan "membekali" kita dengan uang jajan. Itu yang saya nantikan dan harapkan dengan cemas. Kalau tidak diberi bagaimana?

Hehe...

Akhirnya, sayapun pergi mengunjungi beliau. Memang saya juga ingin bersilaturahmi. SUERRR!

Beliau menyalami saya pulang dengan uang 70 ribu saat itu.

Bibi... (saya memanggilnya begitu). Terima kasih! Hatur nuhun! Arigato!

Uang itu mungkin tak seberapa. Tapi, sekedar perbandingan. Dulu saya diberi uang mingguan hanya 25 ribu, lho! Ya, 25 ribu rupiah! Tak salah. Tak lebih. Mamah mampunya segitu. Sementara, teman-teman saya yang juga ngekos rata-rata mendapat uang 100 ribu perminggu.

Pokoknya, uang itu bagi saya besar jumlahnya.

Saya langsung perbanyak novelnya sebanyak tiga kali.

Dan . . . karena keterbatasan dana juga mepetnya waktu untuk menyelesaikan novel... di hari tepat batas terakhir pengiriman novel CAP POS, saya baru sempat mengirimkannya.

Itu saja?

Perjalanannya belum selesai. Hari itu  hujan deras. Saya minta tolong si "teman" untuk mengantarkan paket novelnya ke kantor pos.

Si "teman" tiba lewat pukul 14.00 sedikit di kantor pos dekat kampus UPI di Jalan Setiabudhi.

Nahas untuk si teman. Karena sudah lewat pukul segitu, semua surat dan paket sudah dijemput untuk dibawa ke kantor pusat. Jadi, paketnya tidak bisa dicap terkirim tanggal hari itu! Yang artinya novel saya akan dinyatakan TERLAMBAT DIKIRIM!

OH, TIDAK!

MENYERAH?

Si Teman sama keukeuhnya dengan saya. Dia bertanya, apakah ada cara lain agar paketnya bisa dicap tertanggal hari itu?

Untungnya ada solusinya: Dengan mengirimkan paket langsung lewat Kantor Pos Pusat di Jalan Asia Afrika.

Tanpa berpikir panjang, si "teman" ditemani teman sekelasnya (teman asli, tanpa tanda kutip) langsung bergegas menuju Kantor Pos Pusat dengan naik bis.

Si "teman" bercerita, bis penuh sekali, sampai harus bergelantungan di pintu. Nahasnya lagi, si "teman" berdiri di belakang seorang lelaki paruh baya yang bau keteknya luar biasa :D

Dan... ketiak beliau tepat berada di hadapan wajah si "teman."

Saya tidak pernah lupa cerita ini.

Inilah salah satu alasan saya menjadikannya suami :)

Singkat cerita, akhirnya paket mendarat di kantor pos pusat, dan berhasil dicap tertanggal hari itu.

Tentu masih ada banyak cerita yang tak tertuliskan di sini, terutama saat menanti kabar (gembira atau duka) tentang nasib novel yang sudah dikirimkan.

Hasilnya:

SAYA TIDAK MENDAPAT JUARA 1, 2, ATAU 3.

TAPI....

SAYA MENDAPAT JUARA HARAPAN 1 DAN BUKUNYA AKAN DITERBITKAN OLEH PENERBIT!

KECEWA?

Sedikit. Karena kalau dapat Juara 1, 2, atau 3, ada hadiah uang dan lain-lain. Tapi... saya tetap senang karena novelnya bisa diterbitkan setelah proses editing dll.

Akhirnya...

Novel pertama saya dengan judul yang benar-benar "teenlit" pun terbit.


DIET CINTA

Kesempatan kedua pun datang lagi. Penerbit yang sama menyelenggarakan lomba menulis chicklit Islami. 

Sayapun tak melewatkannya. Dengan perjuangan yang tak kalah panjang dan serunya, sayapun Alhamdulillaah berhasil meraih juara 3!

Yeay!! Karena juara, saya tidak hanya diberi kesempatan untuk menerbitkan novelnya, tapi juga mendapat uang saku dan buku-buku gratis. 

Dan... masih ada lagi sebenarnya, satu novel lagi yang diterbitkan oleh perusahaan penerbit yang sama. Tapi, saya sudahi dulu. Terlalu panjang nanti malah bosan bacanya.

Yang jelas, saya hanya ingin menitikberatkan pentingnya untuk menyambut setiap kesempatan yang datang agar tidak menyesal nantinya. Kalaupun tidak berhasil, tak apa. Bukan rezekinya. Kitapun takkan menyesal karena sudah mencoba.

Saya juga pernah mengikuti beberapa perlombaan menulis lainnya, dan GAGAL. Tapi, jika ada kesempatan lagi, saya akan sambut kesempatan itu! Saya tidak akan takut gagal.

Tasmania, 7 November 2019



Comments

Popular posts from this blog

Memboyong Keluarga Kuliah di Luar Negeri: Bagian 1

Is PhD REALLY a Lonely Journey?: My "Crowded" Journey

Jangan asal SCOPUS®