Menjadi Emak-Emak PhD

Kali ini tulisannya bernada "curhat."

Banyak yang bertanya bagaimana caranya bisa kuliah S3 di luar negeri dengan dua anak (dan satu suami)? :D

Bagaimana, ya? Rasanya seperti permen yang sudah tak lagi populer saat ini: Campur aduk, tapi lebih dominan manisnya dibanding asamnya :)

Sebagai emak-emak, yang paling utama bagi saya adalah anak-anak dan keluarga. Itu sebabnya butuh waktu lama bagi saya (lama tidaknya sebenarnya relatif, ya?) untuk memutuskan saatnya saya kembali ke bangku kuliah.

Pada saat melamar CPNS dosen 2013 lalu, saya sedang hamil. Saat lulus CPNS, saya baru melahirkan. Setelah melahirkan, saya menjalani profesi saya sebagai seorang dosen. Itu saja sudah berat, mengingat anak masih sangat kecil. Saya dan suami juga tinggal "sendirian" di Bandung, tanpa saudara dekat. Orang tua saya di Garut, dan saudara terdekat, terpisahkan jarak beberapa jam--tidak jauh sebenarnya, tapi mengingat Bandung adalah pusatnya kemacetan, dekatpun terasa sangat jauh. Hiks. Alhasil, saya dan suami betul-betul harus berjuang berdua. Syukurlah Aki--bapak saya, kakeknya anak-anak--sudi membantu mengasuh si kecil dari usia 1 bulan sampai 7 bulan! Luar biasa, ya? Memang, orang tua akan tetap menjadi orang tua, sekalipun anaknya sudah menjadi orang tua.

Tuh, kan curhat? :D

Nah, selama menjadi Ibu, saya menyusui anak saya yang pertama, Fal, secara eksklusif selama enam bulan, dan sisanya dibantu dengan susu formula. Saya benar-benar menikmati menjadi Ibu, sehingga tak begitu tertarik untuk S3. Setelah menyapih Fal, mulailah saya merasa mungkin sudah waktunya memikirkan untuk melamar S3.

(Ingat, ya? Proses melamar beasiswa ke luar negeri itu umumnya memakan waktu satu tahun. Jadi, kalau kita ingin kuliah tahun 2020, kita harus melamar beasiswanya tahun 2019, dan seterusnya.)

Sayapun mulai iseng-iseng mencari tahu cara mendapatkan beasiswa S3 melalui internet. Tapi, ya, saya belum benar-benar serius mencari. Apalagi, suami sedang menyelesaikan studi lanjutnya juga. Jadi, benar-benar iseng saja.

Sampai akhirnya, saya hamil lagi! Ditunda lagi deh pencarian beasiswanya.

Seperti dengan anak pertama, saya juga fokus mengurus anak yang kedua dan sedikit melupakan keinginan untuk S3.

Namun, akhirnya tahun 2018 saya mulai lebih serius dengan keisengan saya untuk mencari beasiswa S3.

Status saya sebagai emak dari dua anak yang masih kecil dan juga anak dari orang tua yang sudah sepuh serta tak punya penghasilan yang menentu--Alhamdulillah saya dipercaya oleh Allah untuk membantu orang tua saya secara finansial--membuat saya lebih banyak pertimbangan dalam memutuskan untuk studi lanjut S3.

Yang pertama dan utama, saya ingin studi lanjut di negara yang aman dan tenteram, serta tidak terlalu jauh dari Indonesia. Jadi, kalau ada apa-apa dengan orang tua (mudah-mudahan tidak), saya bisa dengan cepat pulang ke Indonesia (dan tiketnya tidak terlalu mahal). Maka, sayapun memilih ingin studi di Australia. Eropa dan Amerika menjadi pilihan saya berikutnya, kalau pilihan pertama saya gagal, walaupun saya agak enggan ke Amerika, mengingat presidennya saat ini seorang yang sangat rasis dan telah menghidupkan rasisme yang dorman selama ini di Amerika. Hiks. Inggris juga perdana menterinya rada lieur, dan gayanya mirip presiden Amerika saat ini--bahkan penampilannya!

Pertimbangan lainnya adalah hal-hal yang bersifat teknis, namun sangat-sangat penting, yaitu bagaimana nanti saya akan kuliah?

Sendirian? Tidak mungkin saya bisa hidup tanpa anak-anak.

Dengan anak-anak? Siapa yang akan membantu mengurus dan menjaga mereka jika saya harus kuliah, misalnya, atau bertemu dosen pembimbing?

Dengan suami dan anak-anak? Lalu, bagaimana karir suami saya?

Nah, awalnya skenario yang terpikirkan, yang terburuk adalah pergi sendirian. Tapi, saya lebih baik tidak pergi sama sekali daripada tidak bisa membawa anak-anak.

Skenario yang kedua adalah membawa salah satu anak, kemungkinan besar Fal, yang sudah bisa dititipkan di sekolah.

Lalu, Saira, si bungsu? Mungkin bisa setahun sekali berkunjung ke Australia dengan Ubaknya.

Skenario ekstrem adalah membawa kedua anak dan membawa serta Mamah (neneknya anak-anak) untuk membantu menjaga anak-anak selama di Australia--dengan catatan Mamah bisa pulang ke Indonesia setahun dua kali. Tapi, bagaimana dengan visanya? Tidak ada visa dependent untuk orang tua bagi anak yang umurnya sudah di atas 18 tahun, apalagi di atas 30! :D. Maka, skenario inipun langsung dicoret!

Sampai saya mendapatkan beasiswapun, saya masih belum pasti akan memilih skenario yang mana, walaupun skenario yang paling mungkin adalah yang kedua.

Namun, Allah berkehendak lain. Tiba-tiba saja, dua bulan sebelum berangkat, yaitu Februari, suami saya berkata bahwa dia bersedia ikut dan meninggalkan karirnya di Indonesia.

MasyaAllah... saya benar-benar terharu. Sungguh, Allah telah mempertemukan saya dengan suami yang terbaik di dunia--bagi saya.

Akhirnya, satu persoalan pun terpecahkan. Saya, suami, dan anak-anak mantap pergi bersama-sama ke Australia.

Lantas, apakah perjuangannya selesai? Tentu tidak... masih banyak yang harus dilalui. Apa saja?

Tunggu tulisan berikutnya, ya?

Tasmania, 4 Oktober 2019


Comments

Popular posts from this blog

Memboyong Keluarga Kuliah di Luar Negeri: Bagian 1

Is PhD REALLY a Lonely Journey?: My "Crowded" Journey

Jangan asal SCOPUS®