Malaikat dari Texas (Si Iteung Saba Amerika, Bag. 1)

Tulisan ini saya dedikasikan untuk Teteh sekeluarga yang telah menjadi lebih dari keluarga.

Mungkin judulnya agak ekstrem. Malaikat turunnya dari langit, kalee? Tentu saja. Namun, saya percaya bahwa Allah menurunkan malaikat ke dunia ini untuk membantu manusia dalam berbagai bentuk dan rupa. Salah satunya, ya, dalam rupa manusia.

Pelangi dan hujan yang turun dari langit


Sebenarnya sudah sejak lama sekali saya ingin menuliskan pengalaman yang sangat berharga dan menakjubkan ini. Tapi, apa daya, sibuk dan malas menjadi alasan.

Cerita ini berhubungan dengan pengalaman saya dulu menjadi "Si Iteung Saba Amerika" (tunggu tulisan yang ini, ya?). Cerita yang takkan pernah bosan saya bagikan pada siapapun untuk menunjukkan bahwa orang baik itu bertebaran di muka bumi.

Jadi, tahun 2010 yang lalu, si Iteung dari Garut ini saba Amerika. Saya yang waktu itu tak pernah pergi bahkan ke negeri tetangga sekalipun, seperti Malaysia dan Singapura, untuk pertama kalinya pergi keluar negeri. Negeri yang dituju Amerika pula! MasyaAllah, jauhnya! 

Perjalanan saya tentu bukan dalam rangka jalan-jalan (uang dari mana? Heuheu...)

Tahun itu, saya mendapat beasiswa Fulbright untuk studi S2 di Texas, Amerika. 

Aduh, terus terang saya benar-benar merasa seperti Nyi Iteung. Semuanya adalah pengalaman baru. Bukan kampungan, ya. Saya yakin juga Iteung itu tidak kampungan. Dia hanya belum pernah ke kota. Itu saja. Belum pernah ke kota tidak menjadikan seseorang lebih rendah derajatnya atau lebih bodoh dari orang yang sudah pernah. :D

Intinya, saya akan mengembara ke negeri antah berantah untuk pertama kalinya--sendirian.

Orang tua dulu sempat ragu melepas anaknya yang sudah tak gadis lagi ini. Ya! Karena 20 hari sebelum berangkat, I tied the knot with my husband! Jadi, saya sudah berstatus "kawin" saat pergi. Tapi, saya tidak membawa serta suami karena banyak hal, yang inti dari semua alasan tersebut adalah: Gimana mau ngajak orang (sekalipun itu suami) tinggal selama bertahun-tahun (walaupun cuma dua tahun) di negeri orang, sementara saya sendiri belum pernah? 
Jadilah saya berangkat sendirian. Suami setuju dan ikhlas (sepertinya).

Nah.... Dalam ketidaktahuan tentang seluk-beluk negeri orang, saya diperkenalkan oleh dosen berhati malaikat kesayangan saya pada seorang yang juga berhati seperti malaikat. Aduh, saya terkadang bertanya-tanya, apa yang telah saya lakukan sehingga saya dikelilingi oleh orang-orang yang begitu baik bak malaikat?

Sekitar dua bulan sebelum berangkat, saya mulai sering berkomunikasi dengan si Teteh yang tinggal di Texas dengan suami dan satu anaknya. MasyaAllah, walaupun hanya kenal lewat Facebook, saya langsung akrab dengan Teteh--begitu saja saya sebut, ya?


Teteh ini orangnya supel sekali dan sangat nyunda! Jarang sekali lho, ada orang Sunda yang mempertahankan kesundaannya setelah bertahun-tahun lamanya tinggal di negeri orang. Teteh ini benar-benar makhluk langka.

Sayapun jadi tenang karena merasa setidaknya ada seseorang yang saya kenal di Texas.

Namun, saya ternyata tidak hanya akan mengenal Teteh sebagai "teman". Saya akan diangkat menjadi saudaranya sendiri!

MasyaAllah...

Teteh membantu saya dalam berbagai urusan. Yang paling pertama adalah dalam membayar uang DP apartemen. Saya sungguh beruntung. Saat yang lain harus tinggal dulu di hotel sebelum bisa mendapatkan tempat tinggal atau apartemen, saya sudah bisa langsung menempati apartemen saya. Tanpa Teteh, sepertinya akan sangat sulit. Kenapa?

Karena, untuk DP uang sewa apartemen kampus ini, saya harus transfer ke rekening universitas, dan ternyata itu tak dapat dilakukan lewat jalur seperti Moneygram atau Western Union. Kendala utama tentu dulu adalah sistem transfer keuangan antarnegara yang tidak secanggih sekarang, ya? Jadi, Teteh dengan baik hati menalangi uangnya.

Itu baru permulaan dari rentetan kebaikan yang Teteh berikan pada saya.

Walaupun sudah dapat apartemen semenjak masih di Indonesia, saya masih belum terpikir bagaimana cara "mengisi" apartemennya, karena apartemennya itu tidak dilengkapi dengan barang-barang. Hanya kompor listrik, microwave, dan kulkas--standar Amerika (masih mending, karena standar Australia bahkan tidak dilengkapi kulkas dan microwave). Saya mulai tung-itung deh. Kasur harganya sekian, kursi sekian, dan seterusnya. Kalikan ke rupiah. Gila! Mahalnya!

Nah, si Teteh muncul seperti ksatria baja hitam--lebih malah!
Sekedar catatan, Teteh dan keluarga tinggal di Dallas, yang jaraknya sekitar 4 jam dari apartemen saya di San Marcos. Texas itu luas sekali! Melintasi daratan Texas membutuhkan waktu seharian!

Apa yang Teteh lakukan? Sungguh tak terduga!

Teteh dengan mobil kesayangannya yang besar membawa barang-barang dari Dallas ke San Marcos yang akan saya butuhkan di apartemen, mulai dari kasur, kursi sofa dan kursi malas, alat masak, sampai ulekan dan penanak nasi! Aduh, saya tak bisa sebutkan satu persatu. Ada TV juga, DVD lengkap dengan kasetnya, seprai, baju, sampai sabun cuci piring, shampo, dan sabun mandi! Ya Allah... sekarang saat saya menceritakannya pun, saya masih berurai air mata karena terharu sekali!

Apartemen saya itu letaknya di lantai 2, lho! Dan... tak ada lift, jadi Teteh beserta suami dan anaknya yang masih kecil mengangkut semua barang itu ke atas. Ya Allah... nangis lagi, kan?

Jadi, begitu saya tiba di Amerika, saya langsung menempati apartemen yang sudah siap huni! Semua berkat Teteh yang telah Allah turunkan dari langit untuk saya!

Kebaikan Teteh tak hanya sampai di situ. Teteh juga menjemput saya ke bandara (padahal nggak janjian). Sementara itu, dosen saya juga ikut menjemput. Hihi... Jadilah saya berasa selebriti, dijemput ramai-ramai. Untung rumah dosen saya masih dekat bandara. Jadi, saya tidak terlalu merasa "nggak enak hati" karena akhirnya saya memilih pulang bersama Teteh ke apartemen.

Saya sangat kaget begitu sampai apartemen sudah terisi penuh, karena Teteh tidak bilang apa-apa sebelumnya. Teteh juga yang berinisiatif mengambil sendiri kunci apartemen dari kantor pengelola! Luar biasa!

Saya tentu tak dapat menyebutkan kebaikan Teteh sekeluarga satu persatu.

Bayangkan! Setiap libur semester atau libur panjang, saya selalu diundang ke rumahnya di Dallas. Saya selalu naik Greyhound, bus murah meriah yang terkenal di Amerika. Bus ini tidak mengantarkan saya langsung ke rumah Teteh. Alih-alih meminta saya naik bis umum dari kota Dallas ke rumah beliau, saya malah selalu dijemput. Kalau bukan oleh Teteh dan suami serta anaknya, oleh suaminya saja.

Di rumah Teteh, saya diperlakukan seperti adik, bagian dari keluarga. Saya punya kamar sendiri dan bebas untuk melakukan apa saja.

Saya juga senang "pulang" ke Dallas, karena pasti diajak makan di restoran-restoran Asia yang sulit ditemui di kota tempat saya kuliah. Favorit kami adalah Restoran Korea.

Masih banyak lagi kebaikan beliau. Saya juga pernah diajak keliling empat negara bagian: Texas, New Mexico, Arizona, dan Nevada! Itu empat negara bagian yang besar di Amerika. Jarak diantara keempatnya bisa memakan waktu belasan jam! Kami naik mobil yang dikemudikan suaminya yang juga berhati malaikat!

Teteh sekeluarga membuat saya merasa punya rumah kedua di Texas.

Bahkan, Teteh sendiri pernah berujar, "Saya itu seperti punya anak yang sudah kuliah. Saya antarkan dia ke asramanya. Saya jemput dia pulang ke rumah sebulan sekali. Saya bekali dia makan saat dia pulang ke asramanya. (Betul, lho! Saya sering dibekali beras dan makanan lainnya sama Teteh. Benar-benar seperti anak kos)."

Setiap libur panjang atau libur semester, Teteh akan menelepon dan berkata, "Neng kapan pulang ke Dallas?"

Ya, pulang--bukan "Kapan main ke Dallas?"

Itulah bukti betapa Teteh sudah menjadikan saya bagian dari keluarganya.

Teteh, sampai kapanpun saya takkan sanggup membalas kebaikan Teteh yang tak terhingga. Saya hanya bisa memanjatkan doa untuk Teteh sekeluarga.

Tasmania, 9 Oktober 2019

Comments

Popular posts from this blog

Memboyong Keluarga Kuliah di Luar Negeri: Bagian 1

Is PhD REALLY a Lonely Journey?: My "Crowded" Journey

Jangan asal SCOPUS®