Cara Menghadapi Rasisme


Judulnya sangat terkesan prosedural, ya?  Padahal tentu tak ada yang prosedural dalam kasus seperti ini.  Apalagi jika mengalami diskriminasi berdasarkan gender, ras, agama, dan lainnya, siapa yang bisa berpikir tentang prosedur?  Yang ada pasti kita terlalu kaget untuk bereaksi.

Prosedurnya saya simpan di bagian paling bawah, ya?  Baca terus sampai selesai :)

Pengalaman paling pertama mendapat diskriminasi itu saya dapatkan sewaktu di Amerika, tepatnya di sebuah supermarket di New Mexico, sekitar 7 tahun yang lalu.  (Sebenarnya mungkin bukan yang paling pertama, tapi setidaknya yang paling berkesan).

Saat itu saya juga terlalu kaget untuk bisa merespons dengan "tepat".  Saya hanya bisa melongo (tak menyadari bahwa saya baru saja mengalami diskriminasi) dan lama setelahnya barulah it downed upon me that I was just being discriminated against my hijab.  

Menariknya, sebenarnya orang yang melakukan diskriminasi tersebut tidak mendiskriminasi saya karena hijab yang saya kenakan, atau karena ke-Islaman saya.  Di salah satu kampung di New Mexico itu, saya dikira orang Meksiko yang memakai hood atau penutup kepala yang berniat mencuri.  Kecurigaan itu karena ada stereotipe kalau orang Meksiko masuk supermarket dengan penutup kepala, maka mereka pasti berniat mencuri.  Jadi, ketika bayar di kasir, si kasir berkata, "Can you take off your hood?"  Saya hanya bisa melongo.   Saya pun akhirnya menyadari bahwa sedari tadi kamera supermarket mengikuti saya, dan setiap kali saya pergi ke satu lorong atau aisle, pasti ada pengumuman agar petugas memberikan perhatian khusus di bagian itu.  Ya Allah... please, deh!

Mereka bahkan tak tahu bahwa yang saya kenakan itu hijab, dan bahwa saya bukan orang Meksiko.  Ada juga kampung Pasko deket kampung saya di Cibatu, Ceu!

Seorang pegawai supermarket lainnya yang kebetulan seorang Yahudi, yang tahu saya itu "apa" akhirnya mendekati saya dan meminta maaf atas "kebodohan" pegawai lain yang mencurigai saya demikian.  Butuh waktu beberapa menit bagi saya untuk menyadari semua yang telah terjadi.  Bahwa saya baru saja mendapat perlakuan diskriminatif.  Namun, saya masih bisa tertawa, mengingat betapa awamnya dan "bodoh"nya orang-orang itu yang menganggap saya orang Meksiko dan tidak tahu apa yang saya kenakan.

Rasisme dan perlakukan diskriminatif lainnya memang berakar dari KEBODOHAN.

Nah, baru-baru ini saya kembali mendapat perlakuan diskriminatif serupa.  Kali ini di Australia.  Namun, ada yang berbeda.

Saya lebih siap untuk menghadapinya.

Aneh, memang.  Mengapa orang harus siap untuk menghadapi perlakuan diskriminatif?  Karena dunia itu jahat, ma men.  Hiks...

Beberapa minggu sebelum kejadian itu, saya mendengar cerita teman-teman tentang perlakuan diskriminatif yang mereka alami selama di Tassie (sebutan untuk Tasmania).

Entah mengapa, otak saya mencatat baik-baik semua jenis perlakuan diskriminatif tersebut dan semacam berupaya untuk membangun mekanisme untuk menghadapinya dengan elegan.  Firasat saya berkata, suatu saat nanti saya akan menghadapi perlakuan seperti ini.

Dan... benar saja.

Minggu lalu, saya diminta tolong mengantar seorang teman ke Centrelink, semacam badan pemerintah yang mengurus dana kesejahteraan masyarakat, misalnya tunjangan bagi yang tak mampu, penyandang disabilitas, dsb.

Setelah masuk dan mengutarakan maksud kedatangan kami, duduklah kami dengan rapi di deratan kursi tunggu yang tersedia.

Kami pun mengobrol seperti biasa.  Nah, entah bagaimana mulanya, tiba-tiba saja seorang pria kulit putih di depan saya dengan sedikit berteriak berkata, kurang lebih, "English, for Godsake!"

Artinya dia meminta saya berbicara dalam bahasa Inggris.  Sisanya dia semacam bergumam, jadi kurang jelas.  Kejadian ini persis seperti yang diceritakan kawan saya dari Tiongkok tempo hari, dimana seorang perempuan dengan sengaja menghampiri dia dan temannya (yang tentu sedang mengobrol dengan bahasa Cina) dan berkata kurang lebih yang sama.  Intinya si perempuan itu mengingatkan teman saya bahwa karena ini Australia mereka harus bicara bahasa Inggris.  Nah,  si pria rasis ini pun bermaksud yang sama.

Sayapun langsung membalas, "Excuse me! I don't have to speak in English because I didn't speak to you. I would speak in English if I spoke to you, but I was speaking to my friend, not you!"

Dia membalas perkataan saya, tapi tak jelas. Atau karena saya yang berapi-api ingin mendidik dia.

Sayapun memutuskan untuk pindah tempat duduk, dan dia bilang, "Yes, go away."

Saya balas, "Sure, I don't see why I should sit close to someone ignorant like you."

Sambil pindah ke seberang (ruangannya luas sekali, ada deretan kursi yang sama di seberang deretan kursi tadi), saya melaporkan apa yang saya baru alami pada petugas yang tadi menerima kami.  Saya bilang, "He abused us. That man abused us."

Syukurnya, petugas begitu cepat tanggap.  Dia lapor pada manajernya, yang kemudian lapor pada kepala keamanan gedung.

Tak berapa lama saya melihat kepala keamanan menghampiri pria tersebut.  Namun, karena saya sudah tiba giliran kawan saya untuk mengurus masalahnya, saya pun tak dapat menguping pembicaraan mereka.

Ketika saya dan kawan saya sedang berbicara dengan petugas yang melayani bagian yang kami tuju, si kepala keamanan gedung menghampiri kami dan melaporkan pada kami bahwa dia sudah menegur si pria rasis tadi dan sudah menyuruh dia pergi.

Saya tak lupa berterima kasih.

Setelah urusan selesai, kami berjalan meninggalkan gedung.  Lagi, seorang perempuan yang ternyata manajer di sana menghampiri dan meminta maaf atas kejadian tadi.

Saya merasa senang karena orang-orang di sana begitu tanggap pada kejadian seperti ini, walaupun tentu kesal dengan si pria rasis.  Namun, saya juga bangga karena saya merasa telah melakukan yang tepat.

Jadi, kalau kita mendapat perlakuan diskriminatif, kita harus:
1. Melawan. Jangan diam. Tunjukkan bahwa kita berhak untuk tidak diperlakukan seperti itu.
2. Tinggalkan si pelaku rasis.  Walaupun tentu kita ingin mendidik si rasis (saya gatal sekali ingin mengajari dia sejarah bahwa bahasa Inggris bukan bahasa Australia, bahwa orang Aborigin lebih dulu tinggal di sana. Mungkin sebelum orang Aborigin ada orang lain, bangsa lain, yang kita tidak tahu saja. Intinya, bumi ini milik Tuhan, ma men... ), saya sadar tak ada gunanya berdebat kusir.  Dia takkan juga paham jika diceramahi demikian.  Yang ada, suasana dapat memanas, dan amit-amit, takutnya dia berani melakukan kekerasan fisik.
3. Laporkan.  Ini yang paling penting.  Kita mungkin tak dapat berbuat banyak selain melawan dan mempertahankan hak/harga diri kita.  Namun, ada pihak yang lebih berwenang yang dapat menyelesaikan masalah ini dengan lebih baik.  Jadi, laporkan pada pihak tersebut.  Dalam kasus saya, saya melaporkan pada petugas terdekat di gedung itu.  Jika ada polisi, laporkan pada polisi.  Pokoknya, jangan diam saja.  Orang rasis itu harus mendapat pelajaran.

Aduh, jadi emosi lagi menuliskan ini. Heuheu... Saya bawa ketawa ajalah... Kasihan sekali mereka yang monolingual itu, ya? Karena cuma bisa satu bahasa, mereka tak paham bahwa ada banyak bahasa di dunia yang dapat digunakan untuk komunikasi. :D Maaf, saya jadi jahat.

Tasmania, 24 Desember 2019



Comments

Popular posts from this blog

Memboyong Keluarga Kuliah di Luar Negeri: Bagian 1

Is PhD REALLY a Lonely Journey?: My "Crowded" Journey

Jangan asal SCOPUS®