Foto Bersama Penerima Bantuan: Riya? Untuk Menginspirasi?: Jangan Dulu Su'udzan

"Bu, mau saya foto penerima sumbangannya? Buat dokumentasi."

Saya cepat menjawab, "Nggak usah, Bu. Bagikan aja. Jangan kasih tahu juga saya yang kasih, ya? Nggak seberapa ini." 

"Beneran, Bu? Kemarin waktu Pak RW bagi-bagi sembako, malah lebih sedikit dari paket Ibu, kita semua difoto, lho!"

"Ya, mungkin sebagai bukti dokumentasi untuk pemberi sumbangan, Bu. Apalagi kalau pemberi sumbangannya pemerintah, pasti ada semacam pertanggung jawaban dalam bentuk foto atau tanda tangan. Kalau saya nggak salah dulu tanda tangan aja cukup. Tapi, tanda tangan kan gampang dipalsukan. Jadi, mungkin diganti foto bersama, biar lebih otentik," terang saya.

"Ibu emang nggak butuh bukti saya udah bagi-bagi ke tetangga?" Tanyanya lagi.

Saya tersenyum kecut, "Saya percaya sama Ibu. Nggak perlu bukti-bukti. InsyaAllah."

"Baik. Nuhun atuh Bu, kalau begitu. Saya bagiin dulu, ya, sembakonya," pamit si ibu tetangga kampung.

"Iya, Bu. Makasih banyak," ujar saya.

Sepenggal percakapan ini semoga bisa menjelaskan mengapa ada pemberi sumbangan yang meminta foto dengan penerimanya. Saya pribadi tidak masalah kalau ada orang bagi-bagi foto di FB atau IG saat membagikan bantuan, berpose manis sambil menenteng tas bantuan. 

Bagi saya, foto-foto tersebut sangat menginspirasi untuk ikut berbuat baik terhadap sesama sebisa kita. 

Nah, yang jadi masalah bagi saya adalah kalau wajah si penerima tak disensor, jadinya 'terkenal' luas.

Saya masih ingat video viral seorang pelanggan gojek yang memberikan uang tip 20 ribu ke tukang gojeknya. Uang itu dimasukkan ke dalam ember yang diturunkan dari lantai dua. Tukang gojek memasukkan pesanan pelanggan di ember itu, lalu terkejut mendapatkan uang tip 20 ribu. 

Video diambil dari lantai dua, yang berarti tukang gojek direkam dalam posisi 'di bawah' si pelanggan.
Saat ia mengangkat wajahnya sambil mengucapkam terima kasih, saya kok sedih, ya? Kalau pemerhati film pasti paham dengan istilah angle dalam. High angle membuat objek yang direkam terlihat kecil, tak berdaya. 

Bayangkan jika video yang diset publik itu dibagikan oleh jutaan orang dan sampai pada si tukang gojeknya, atau istrinya, atau anaknya. Bukan hal yang hina mendapatkan bantuan, hanya saja tentu harga dirinya sedikit terluka. 

Akan tetapi, saya tidak mau lantas suudzan bahwa si pemberi berniat riya. Niat itu dalam hati, hanya si pemberi dan Allah yang tahu. Bisa jadi hanya untuk dokumentasi atau memberikan contoh pada orang lain. Kan bagus, toh, menginspirasi orang untuk beramal?

Mungkin saran saja dari saya, sebaiknya wajah si penerima bantuan disamarkan atau istilah awamnya diblur (seharusnya blurred :D).  Foto atau video asli boleh disimpan untuk dokumentasi atau bukti. Nah, foto yang dipajang di  media sosial sebaiknya disamarkan saja. Dengan begini, kita tak hanya bisa berbagi cerita untuk menginspirasi orang lain, tapi juga menyelamatkan harga diri si penerima bantuan.

إِن تُبْدُوا۟ ٱلصَّدَقَٰتِ فَنِعِمَّا هِىَ ۖ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا ٱلْفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّـَٔاتِكُمْ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ 

Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Referensi: https://tafsirweb.com/1037-quran-surat-al-baqarah-ayat-271.html

Comments

Popular posts from this blog

Memboyong Keluarga Kuliah di Luar Negeri: Bagian 1

Is PhD REALLY a Lonely Journey?: My "Crowded" Journey

The 'Perks' of Working from Home with Two Young Kids: Staying Positive in the Face of Covid-19