Belajar dari Tasmania: NOL kasus Covid-19


Sudah hampir lebih dari dua bulan ini Tasmania tidak mendapatkan kasus baru covid-19. 

Nol kasus ini berarti pembatasan sosial berskala besar ala Indonesia yang dikenal dengan PSBB atau di sini singkat disebut 'Covid-19 restrictions’ sudah tidak diberlakukan. Dua bulan lebih cepat dari seharusnya! 

Alhamdulillaah... Dari 5 orang saja yang diperbolehkan mengunjungi rumah penduduk, jumlahnya naik menjadi 10, sampai kini boleh hingga 20 orang! 

Dari 10 orang saja yang diperbolehkan masuk rumah ibadah seperti masjid dan gereja, jumlahnya naik menjadi 20, dan kini boleh hingga 50 orang! 

Tempat hiburan dan liburan, seperti taman nasional dan tempat main sudah dibuka semuanya!

Sekolah sudah sejak lama dibuka, tepatnya mulai bulan Mei! Sekolah adalah fasilitas publik yang ditutup paling akhir dan dibuka kembali paling awal. 
Alasannya? Banyak! Selain karena pendidikan itu sangat penting, dan penelitian membuktikan anak-anak lebih ‘aman’ di sekolah daripada di rumah seharian. . . ada alasan lainnya yang panjang kalau dijelaskan 😊… semacam economic chains of effects.

Bahkan pasar 'kaget' dan acara yang bersifat menimbulkan keramaian sudah diperbolehkan hingga 500 orang! (Tentu dengan masih memperhatikan protokol jaga jarak dan jaga kebersihan). 

https://unsplash.com/s/photos/physical-distancing

Intinya, sekarang semua sudah BEBAS dilakukan,asalkan masih tetap mematuhi peraturan JAGA JARAK dan JAGA KEBERSIHAN (cuci tangan dengan sabun lebih sering, apalagi setelah bepergian, ganti baju setelah dari luar, dan jangan sentuh bagian wajah seperti mulut dan hidung dengan tangan).

PERTANYAANNYA: APA YANG MEMBUAT TASMANIA BERHASIL MENCAPAI NOL KASUS COVID-19? 

Menurut saya, ada banyak faktor, namun yang paling penting saya pikir adalah kepemimpinan yang tegas dan cerdas dari Premier Peter Gutwein alias ‘gubernur’-nya Tasmania dan tentu peran serta masyarakat yang patuh terhadap pemimpinnya. 

Begitu kasus Covid-19 meningkat di Tasmania, beliau langsung memberlakukan beberapa hal seperti berikut ini:

1. Border closing alias penutupan perbatasan melalui jalur laut atau udara. Tasmania adalah sebuah negara bagian yang merupakan pulau kecil terpencil dari daratan utama. (Sebenarnya sih nggak terpencil-terpencil amat :D). Tapi, ya secara geografis Tasmania itu ‘sendirian’, terpisah dari negara bagian lain yang membentuk satu pulau—benua besar. Sebagai pulau kecil yang terpencil, Peter Gutwein memperhitungkan dengan sangat teliti dan rinci kapasitas rumah sakit dibandingkan dengan jumlah penduduk Tasmania. Hasilnya, dia tidak yakin jika fasilitas kesehatan di Tasmania mampu menangani banjir pasien Covid-19 jika sampai kemungkinan buruk virus tersebut menginfeksi puluhan ribu orang terjadi di Tasmania. 

Dengan kesadaran akan ketidakmampuan fasilitas kesehatan menangani wabah Covid-19 besar yang bisa melanda Tasmania, Peter Gutwein memutuskan bahwa mencegah jauh lebih baik dari mengobati. Setelah mempelajari pola penyebaran virus tersebut yang ternyata 90% lebih berasal dari luar Australia—terutama dibawa oleh mereka yang baru pulang dari wisata berlayar atau cruise ship holiday, Peter Gutwein langsung menutup perbatasan. Tidak boleh ada orang luar masuk ke Tasmania, bahkan termasuk orang Australia non-penduduk Tasmania dengan beberapa pengecualian, misalnya tenaga medis atau tenaga ahli yang sangat dibutuhkan di Tasmania. 

Tentu saja dampak ekonomi yang diakibatkan sangat besar. Bisa dikatakan bidang pariwisata jatuh terhempas-pas-pas hingga ke dasar laut. Pun restoran, tempat hiburan, bisnis akomodasi. Semuanya ikut terkena dampaknya. Namun, saya paham, prioritas Peter Gutwein adalah kesehatan dan keselamatan penduduk Tasmania. 

2. Lockdown
unsplash.com

Di seluruh Australia, pada saat kasus covid-19 mencapai puncaknya, kebijakan ini diterapkan dengan merata. Kebijakan ini penting untuk menekan angka penyebaran diantara penduduk lokal. Tasmania pun tak ketinggalan. Kami sempat mengalami pembatasan keluar rumah—hanya untuk belanja kebutuhan sehari-hari dan alasan kesehatan atau kepentingan kerja. Saya yang memang jarang ke mana-mana tidak begitu terimbas lockdown ini. Hampir dua bulan kami harus ‘mengunci diri’ di rumah. Hampir semua penduduk Tasmania manut dengan kebijakan ini, dan hasilnya… ya seperti sekarang, Tasmania bebas corona. Kebijakan yang tepat dan rakyat yang patuh sepertinya menjadi dua kunci utama keberhasilan Tasmania dalam menekan angka laju infeksi covid-19. 


Nah, bisakah Indonesia belajar dari Tasmania? Jawabannya bisa. 

NAMUN… ada hal lain yang patut dipertimbangkan sebagai faktor yang mendukung penerapan kebijakan pemerintah dalam menangani covid-19. 

Perlu diingat bahwa Tasmania hanya memiliki sekitar kurang dari 600,000 penduduk, dan merupakan negara bagian ketiga dengan jumlah penduduk terkecil. Jadi, tingkat kepadatannya sangat rendah. Dengan tingkat kepadatan yang rendah, tentunya cukup mudah untuk mengikuti protokol ‘jaga jarak’ di tempat keramaian. (Kami sering bercanda, tanpa ada himbauan jaga jarakpun, kami di sini sudah terbiasa berjauhan saat di tempat umum, saking sedikitnya penduduk di sini).

Yang tak kalah penting juga adalah kesejahteraan masyarakat yang terjamin. Penduduk yang kehilangan pekerjaan karena tempat kerja tutup selama covid-19 lockdown memperoleh santunan dari pemerintah yang jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (bahkan lebih kalau menurut standar saya hehe…). Ada banyak juga bantuan dari pemerintah dalam bentuk yang berbeda-beda, seperti rental relief (bantuan untuk membayar biaya sewa rumah bagi mereka yang tak mampu atau kehilangan pekerjaan), emergency relief (bantuan berupa uang dan semacam sembako bagi mereka yang harus dikarantina), dan banyak bantuan lainnya yang juga diberikan pada pebisnis dan kelompok usaha. 

Nah, dua hal ini saya tahu pasti tak dapat ditemukan di Indonesia yang penduduknya sangat banyak dengan kepadatan yang sangat tinggi. Meskipun bantuan diberikan utamanya dalam bentuk sembako, bantuan masih belum merata dan terkadang tak tepat sasaran. Saya tak dapat menawarkan solusi untuk masalah yang pelik ini. Saya hanya bisa berandai-andai saja. Seandainya tingkat korupsi di Indonesia sudah rendah, seperti di Australia, mungkin kekayaan negara bisa dikelola dengan lebih baik dan rakyat bisa lebih sejahtera. Seandainya rakyat Indonesia sejahtera, tentu cukup mudah untuk menegakkan peraturan dan kedisiplinan. Seandainya saja ... 

Bagaimanapun, aku mencintaimu, Indonesia.

Comments

Popular posts from this blog

Memboyong Keluarga Kuliah di Luar Negeri: Bagian 1

Is PhD REALLY a Lonely Journey?: My "Crowded" Journey

Jangan asal SCOPUS®