Perjalanan Meraih Beasiswa Fulbrigt Bagian 2

         Setelah mengirimkan lamaran lengkap di hari terakhir penerimaan--sungguh sport jantung--saya akhirnya bisa sedikit tenang. Mengapa? Karena saya benar-benar pasrah. Diterima, Syukur Alhamdulillah. Tidak diterima? Bohong jika saya bilang saya tidak akan sedih. Tentu kecewa pasti akan saya rasakan. Tapi, saya berjanji pada diri saya waktu itu kalau saya tidak akan larut dalam kekecewaan. Jalan masih panjang, saya merasa saya masih muda :) dan pasti ada kesempatan lagi nanti untuk saya melamar beasiswa lagi, baik Fulbright lagi maupun beasiswa lainnya. Tentu saja, sejauh ini memang Fulbright paling "berkelas" dan paling sedikit menawarkan beasiswa untuk calon masters. Tapi sekali lagi, saya pasrah sambil tetap berdoa. Doa saya: Jika lulus semoga saya tidak takabur dan semoga dilancarkan, jika saya tidak lulus, semoga saya tidak larut dalam kesedihan.
          Saya tidak pernah memeriksa email saya. Bukan berarti saya tidak mengharapkan lamaran saya diterima, tapi waktu itu kesibukan di kantor begitu menyita waktu saya. Suatu hari, ketika sedang mengajar kelas persiapan TOEFL, telepon saya berdering. Nomor Jakarta. Hem, saya sedikit sumringah, karena saya pikir itu dari pihak penerbit yang mungkin menawarkan saya untuk menulis lagi :D atau memberitahukan saya perihal royalti yang akan saya terima.
           Si penelepon mengajak bicara dengan nada yang sangat formal. Meluncurlah kalimat yang begitu membuat hati saya berbunga-bunga: "Anda lulus tahap seleksi aplikasi beasiswa Fulbright dan mohon segera konfirmasi kami mengenai apakah Anda bisa atau tidak datang pada waktu dan tempat yang ditentukan untuk melakukan wawancara."
           "Apa? Lulus Fulbright? Email apa?" Begitu banyak pertanyaan yang saya luncurkan sampai-sampai si penelepon sedikit kewalahan.
           Ah, saya yakin beliau pasti sudah terbiasa menghadapi mereka yang lulus seleksi yang menunjukkan perasaan berbunga-bunga atau mungkin berteriak kegirangan seperti saya :D saat beliau telepon.
           "Coba Anda cek lagi emailnya," saran si penelepon.
           Saya manut, tapi tidak ada email dari Fulbright/Aminef di kotak masuk saya.
           "Sudah dicek spam-nya?" saran si penelepon--lagi.
            Saya yang biasanya tak pernah mengecek spam akhirnya membuka folder tersebut dan muncullah dua surat elektronik dari Aminef, yang satu menyatakan kelulusan saya di seleksi tahap awal, dan yang lainnya mengundang saya untuk wawancara. 
           "Alhamdulillah wa syukurillah," berteriak kegirangan saya masuk kembali ke kelas dan menjelaskan pada semua murid saya tentang telepon yang baru saya terima. Sekalian, saya juga minta doa dari mereka agar saya lulus wawancara. Mereka menyatakan turut berbahagia dengan kabar gembira yang baru saya terima.
           Hari itu, saya begitu semangat mengajar dan ingin cepat-cepat selesai karena tak sabar memberitahukan keluarga terutama calon suami mengenai kabar ini.
           Beberapa hari berlalu sampai tibalah menjelang saatnya wawancara . . .





Comments

Popular posts from this blog

Memboyong Keluarga Kuliah di Luar Negeri: Bagian 1

Is PhD REALLY a Lonely Journey?: My "Crowded" Journey

Jangan asal SCOPUS®