How I Became a Fulbright Scholar: Perjuangan Panjang nan Melelahkan yang Terlalu Berkesan untuk Dilupakan

Oops, ternyata judul ini tidak hanya terlalu panjang, tapi juga terlalu luas. Terlalu banyak hal yang harus saya ceritakan, karena ternyata perjuangan untuk meraih beasiswa itu sungguh panjang dan tanpa batas. Perjuangan tenaga dan pengorbanan waktu dan uang tidaklah seberapa dibanding dengan perjuangan panjang menahan emosi atau bergelut dengan rasa khawatir, ragu, takut, dan tentunya gelisah saat menanti-nanti hasil keputusan juri apakah saya lulus ke tahap berikutnya atau tidak.


Secara teknis ini yang saya lakukan:

  1. Mengikuti TOEFL-ITP (bukan TOEFL tidak resmi atau prediksi, tapi juga bukan iBT yang mahal sekali). Sebagai syarat, TOEFL-ITP cukup. Nilai yang diminta untuk Fulbright biasanya minimal 550. Waktu itu, saya berhasil mendapatkan 640. Alhamdulillah. Mungkin keuletan saya selama belajar sebagai mahasiswa jurusan Bahasa Inggris dan kemudian mengajar Bahasa Inggris sebagai bahasa asing membuat saya bisa lulus dengan nilai yang memuaskan. Salut saya berikan pada mereka yang bisa mencapai nilai sempurna, 680! Bravo! Hebat! Semoga saya bisa seperti mereka nanti.
  2. Menyiapkan legalisir Ijazah dan Rekap Nilai/IPK lengkap dengan terjemahannya, kalau bisa diterjemahkan oleh penerjemah resmi baik lembaga maupun perorangan. Pengalaman saya menunjukkan bahwa terjemahan tidak harus dilakukan oleh penerjemah tersumpah atau sworn translator. Saya malah menerjemahkan sendiri, karena kebetulan saya juga bekerja sebagai penerjemah di lembaga bahasa tempat saya bekerja.
  3. Menulis Study Objective. Nah, ini sangat "tricky." Kita betul-betul dituntut untuk menunjukkan bahwa kita: pertama, memang sangat antusias dan memiliki "gairah" tinggi untuk bisa lulus dan mempelajari bidang yang akan kita tekuni; kedua, kita harus bisa menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan dan atau profesi kita memang menunjang untuk program yang akan kita ambil; ketiga, kita harus mempunyai rencana bagaimana nantinya program yang kita ambil itu akan membantu kita untuk memberikan kontribusi pada masyarakat saat kita pulang setelah menimba ilmu. Penting juga untuk menunjukkan kontribusi dan prestasi kita selama kuliah atau bekerja. Syarat meraih beasiswa tidak hanya IPK dan nilai TOEFL yang tinggi saja, tapi juga prestasi kita di luar bidang akademik. Saya menduga--mungkin--yang membuat saya dipehitungkan sebagai kandidat karena saya pernah menjadi guru Madrasah secara sukarela selama bertahun-tahun. Kemudian, saya juga pernah menerbitkan 3 novel. Jurusan yang akan saya ambil waktu itu sastra. Jadi, tentu saja itu menjadi bahan pertimbangan.
  4. Surat rekomendasi. Di sinilah pentingnya menjaga hubungan baik dengan dosen atau pembimbing skripsi/thesis. Surat rekomendasi sangat penting. Untuk tahap awal, cukup satu saja. Kalau lulus ke tahap berikutnya, biasanya diminta untuk mengajukan dua surat rekomendasi tambahan.
  5. Kalau semua berkas sudah di tangan, jangan lupa cepat-cepat mengirimkannya. Jangan seperti saya, yang karena alasan sibuk padahal sebenarnya saya hanya menunda-nunda saja, akhirnya saya kirim pas tanggal tenggat waktu. Deg-degan sekali waktu itu, takut tidak diterima. Tapi, Alhamdulillah masih bisa.
Sepintas memang terlihat tidak begitu berat perjuangannya. Hanya butuh waktu, tenaga dan uang. Uang memang tidak seberapa, tapi tergantung kondisi ekonomi tiap orang juga. Bagi beberapa orang, biaya tes sebesar sekitar 300 ribu rupiah itu tidak seberapa. Tapi, bagi sebagian besar orang tentu tidaklah murah. Belum lagi biaya menerjemahkan transkrip nilai dan ijazah. Ditambah lagi ongkos kirim. 

Saya merasa beruntung, karena waktu itu saya bekerja di lembaga bahasa milik universitas almamater saya. Saya diberikan segala kemudahan, Masya Allah. Saya bisa ikut tes di tempat saya bekerja, mendapat legalitas (cap lembaga) untuk terjemahan saya di sana juga, dan tentu mudah sekali menghubungi atau mendatangi dosen untuk minta surat rekomendasi, karena kantor mereka tidaklah jauh dari kantor saya, masih satu lingkungan universitas. Lebih menyenangkannya lagi bagi saya, sebagian besar dari mereka sering berkunjung ke lembaga bahasa tempat saya bekerja, baik untuk mengajar paruh waktu ataupun kegiatan lainnya yang berkaitan dengan kebahasaan.

Diingat-ingat, memang seharusnya saya lebih banyak bersyukur dibanding mengeluh dengan semua kemudahan yang saya peroleh. Tapi, tetap saja. Sulit sekali melawan pergolakan emosi jiwa, :). Pergolakan emosi apakah? Tunggu kisah selanjutnya.

Comments

  1. Terima kasih unk informasinya Kak, sangat bermanfaat dan semga kami bisa menyusul unk meraih beasiswa. Aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. @budirich, sama-sama. Syukurlah jika bermanfaat. Semoga sukses.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Memboyong Keluarga Kuliah di Luar Negeri: Bagian 1

Is PhD REALLY a Lonely Journey?: My "Crowded" Journey

Jangan asal SCOPUS®