Merindu Hujan

Sejak hari Jumat (dua hari yang lalu tepatnya), langit terus-menerus dirundung mendung. Ah, saya sangat-sangat-sangat berharap hujan akan turun. Ini hari ke tiga langit mendung, tapi hujan tak kunjung turun. Di Texas, hujan terbilang perhiasan yang sangat berharga. Lebih berharga dari emas dan berlian sekalipun. Masih teringat, selama musim panas kemarin yang panasnya sungguh luar biasa, Texas kering kerontang. Hujan tak turun-turun selama berbulan-bulan. Di mana-mana ada tulisan "Pray for rain." Kekeringan memang tidak berdampak pada berkurangnya air minum atau air untuk kebutuhan pokok lainnya, tapi tetap sangat menyedihkan. Kolam di depan kampus yang indah, dihuni oleh ikan, kura-kura dan beberapa bebek berbulu warna-warni kering kerontang, karena larangan mengairi kolam buatan. 


Ketika hujan turun, semua orang begitu riang gembira. Mereka bersorak sorai. Sungguh naas, hujan yang pertama turun seperti mengejek saja. Beberapa detik saja membasahi bumi, tapi penduduk Texas sungguh senang. Alhamdulillah, setelah ejekan hujan itu, hujan kembali turun. Tidaklah sesering dan selebat di tanah air, tapi rintiknya cukup membasahi bumi yang kering kerontang.


Ah, saya rindu hujan di tanah air.
Sungguh rindu.
Teringat saat dulu hujan turun.
Alih-alih bersyukur,
Saya malah mengeluh,
ini dan itu.


Sekarang baru terasa
Betapa hujan adalah karunia


Saya berjanji jika saya pulang ke Indonesia nanti, saat hujan turun, saya tidak akan mengeluh. Allaahumma shayyiban naafi'aan. Justru do'a inilah yang akan saya panjatkan. Jika banjir terjadi, jangan sekali-sekali berani mengalahkan hujan. Alam dan cara kita mengatur dan memakainya yang harus dibenahi. Setidaknya, jika saya tidak bisa mengajak yang lain untuk berhenti mengeluhi hujan, saya akan memulai dari diri sendiri saja :).


Ah, saya rindu hujan di tanah air.

Comments

Popular posts from this blog

Memboyong Keluarga Kuliah di Luar Negeri: Bagian 1

Is PhD REALLY a Lonely Journey?: My "Crowded" Journey

Jangan asal SCOPUS®