Berbahagialah Tanpa Harus Nyinyir dengan "Kemalangan" Orang Lain

Image result for tarawisata
https://pbs.twimg.com/media/DvUsWVNVsAAyiVv.jpg

Anda hidup bahagia?

Syukurlah, saya ikut senang.  Beneran! Seriusan!

Anda ingin membagikan kebahagiaan Anda dengan semua orang di media sosial?

Silakan, memang media sosial tempatnya untuk itu. (Saya juga sering begitu :D)

Namun, saat Anda membagikan kebahagiaan itu, cukuplah Anda beritakan kebahagiaan Anda.  Anda tak harus membandingkan kebahagiaan Anda dengan kemalangan orang lain.  Apakah Anda merasa kurang bahagia jika tidak menunjukkan betapa malangnya orang lain?

Maaf, kali ini tulisan saya juga bernada "nyinyir".  Tapi, semoga nyinyir ini positif untuk mengingatkan kita bersama bagaimana menggunakan media sosial dengan bijak.

Maaaaf sekali lagi.  Saya agak jengah dengan beberapa orang yang saya kenal--meskipun tak cukup baik--yang persis seperti judul dalam tulisan ini: Sering membagikan kebahagiaannya dengan harus menunjukkan kemalangan orang lain. Menjatuhkan orang untuk meninggikan diri sendiri.

Saya sudah sering mendengar nasihat keren "Tak perlu menjatuhkan orang lain untuk membuat Anda tinggi".

Dalam nada yang sama, saya juga ingin berujar, "Tak usah menunjukkan kemalangan orang lain untuk membuat Anda bahagia."

Contohnya nih, ya.

Seorang ibu membagikan kisah bahagianya betapa ia memiliki suami yang sangaaaaaat pengertian, penyabar dan penuh kasih sayang.

Good for you, Bu!  Senang sekali mendengarnya.

TAPI....

Untuk merasa bahagia, si Ibu ini harus sekali ya membagikan kebahagiaannya dengan seperti ini (ini contoh saja, ya?)

"Aduh, alhamdulillah banget ya, suamiku ini penyabaaaar banget.  Istrinya dandan seberapa lama pun dia tungguin.  Nggak pernah tuh dia ngeburu-buru atau mengeluh.  Memang suamiku ini luar biasa.  Kasihan sekali ya, istri-istri yang suaminya suka ngeburu-buru.  Baru aja rapihin rambut atau jilbab udah disuruh cepet-cepet.  Baru lima menit ganti baju, udah dibilang sejam!  Suamiku mah alhamdulillah nggak begitu."

Nah Nah Nah

Harus banget ya, Bu, rubbing salt on other's wound just to make your food taste better? Eh...  maaf, karena ibu-ibu doyan makan, jadi kepeleset ke makanan.

Kenapa tidak cukup saja menuliskan: "Alhamdulillaah, senangnya punya suami yang sabar dan pengertian. Istri berlama-lama dandan, dia nggak protes atau mengeluh."

Bisa kan?

Atau, sering juga nih ada yang menulis begini:

"Alhamdulillaah saya bisa kerja di rumah sambil ngasuh anak dan masak buat suami tercinta.  Duh, kebayang deh jadi wanita karir yang kerja kantoran.  Pergi subuh, pulang petang.  Anak-anak terlantar.  Padahal kan anak itu butuh untuk selalu didampingi ibunya sepanjang waktu.  Kalau saya sih alhamdulillaah, 24 jam waktu untuk anak!"

Ini nih wanita yang tidak menghargai sesama wanita.  Boro-boro ngerti kalau situasi setiap perempuan itu berbeda.  Kalau memang bahagia menjadi wanita yang berkarir di rumah, ya, syukurlah.  Kenapa harus bawa-bawa wanita yang "tidak seberuntung" Anda?  Apa Anda tahu alasan wanita karir ini bekerja?  Apa rasa bahagia Anda berkurang jika Anda tidak membuat orang lain merasa tidak beruntung, malang, dan menyedihkan?

Menuliskan: "Alhamdulillaah saya bisa kerja di rumah sambil ngasuh anak dan masak buat suami tercinta." saja sudah cukup, kan?

Sisanya, kata-kata yang menjatuhkan orang lain, yang membuat orang lain merasa malang dan menderita, tak harus dimasukkan.  Tetap terlihat bahagia, kan?  Tidak berkurang, kan, kebahagiaannya? :D


Contoh lainnya:
"Senangnya bisa liburan di sini.  Pemandangannya kereeen banget!  Duh, yang belum jalan-jalan.  Ngapain sih di rumah aja?  Jalan-jalan dong!"

Ini juga!  Aduh, please, deh!  Saya ikut senang Anda bisa jalan-jalan.  Siapa, sih, yang nggak suka jalan-jalan?  Tapi, ya, itu!  Nggak usah nyindir mereka yang nggak punya uang/waktu/kesempatan buat jalan-jalan.  Siapa tahu salah seorang yang membaca status Anda itu tengah mendapat kesusahan.  Jangankan buat jalan-jalan, buat makan besok pun masih wallaahualam.  Atau mungkin salah satu pembaca status itu adalah seorang yang sedang berbaring sakit, dan tak mampu bepergian.

Terpikirkan postingan/tulisan alternatifnya?

Intinya, berbahagialah tanpa harus menunjukkan pada orang lain betapa malangnya keadaan hidup mereka.

Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi pada orang lain.  Seperti apa cerita hidupnya.  Jangan sampai status kita yang sebenarnya hanya bertujuan untuk membagikan kebahagiaan kita malah membuat orang lain sedih, kecewa, dan merasa sangat tidak beruntung!

Mari berbahagia dan membagikan kebahagiaan kita tanpa harus membuat orang lain merasa menderita!


Tasmania, 22 Januari 2020




Comments

Popular posts from this blog

Memboyong Keluarga Kuliah di Luar Negeri: Bagian 1

Is PhD REALLY a Lonely Journey?: My "Crowded" Journey

Jangan asal SCOPUS®