Jangan Lakukan Ini Jika Ingin Artikelnya Dimuat di Jurnal (Bagian 1)

Sebenarnya apalah saya menuliskan tentang topik yang begitu "akademik" ini.  Saya hanyalah remahan kata yang dibuang penulis saat mengedit tulisannya sebelum dimuat di jurnal. Hiks.

Tapi, daripada saya marah-marah nggak jelas.  Lebih baik saya ungkapkan unek-unek saya ini dalam bentuk tulisan yang mudah-mudahan bisa membantu rekan-rekan yang baru terjun ke dunia tulis-menulis.  Mudah-mudahan.

Jadi, sebenarnya ini adalah unek-unek saya sebagai seorang editor jurnal yang katanya sih bertaraf internasional--atau lebih tepatnya aspiring to be international--InsyaaAllaah...

No photo description available.

Ini tahun keempat saya menjadi kepala editor jurnal ini, dan saya sudah banyak bertemu beragam jenis penulis dengan keunikannya masing-masing.

Sebagai seorang chief editor merangkap editor merangkap copyeditor merangkap layouter (euleuh...., tapi benar!), sebelum saya teruskan naskahnya ke para mitra bebestari atau reviewer, saya kebagian tugas menyaring naskah atau manuskrip yang masuk.  Jangan sampai manuskrip-manuskrip yang tidak memenuhi syarat dikirim ke mitra bebestari.  Big NO!

Nah, selama bertugas menyaring naskah-naskah ini saya menemukan beberapa pola yang nyebelin dari para penulis yang mengirimkan naskahnya ke jurnal saya.  Saya pun dulu mungkin pernah menjadi salah satu penulis nyebelin itu saat saya mengirimkan naskah saya ke jurnal.  Namun, pengalaman menjadi editor membuat saya tahu bagaimana cara menghindari menjadi penulis yang membuat editor kesal.

Jadi, alangkah baiknya saya bagikan dengan kawan-kawan yang belum tahu--seperti saya dulu.

Apa saja sih, ciri-ciri penulis yang membuat editor tidak senang?

Penulis yang TIDAK MEMBACA "panduan untuk penulis" atau "author guidelines".  

Karena malas membaca, jadilah para penulis seperti ini:

  1. Membanjiri posel jurnal (bahkan posel pribadi) dengan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya sebenarnya ada di panduan itu. (Misalnya, bagaimana cara mengirimkan naskah? Berapa jumlah kata maksimal/minimum, dan lainnya)
  2. Mengirimkan naskah yang sama sekali tidak memenuhi persyaratan.  Contoh yang paling jelas adalah mengirimkan naskah berbahasa Indonesia ke jurnal saya yang notabene mensyaratkan naskah agar berbahasa Inggris. 
Efek domino lainnya dari malas membaca ini adalah:
  1. Penulisan referensi tidak sesuai dengan gaya yang dipersyaratkan jurnal (contoh dalam kasus saya adalah gaya APA yang diminta, gaya "entah apa" yang diikuti)
  2. Jumlah kata kurang atau lebih dari yang diminta (dalam kasus saya, jurnal saya mensyaratkan minimal 4000, maksimal 8000 termasuk referensi, dan... tidak sedikit penulis yang mengirimkan hanya 1500, 2500 atau yang paling ekstrem 12.500 kata!)
  3. Sub-headings jurnal tidak sesuai persyaratan (biasanya memasukkan literature review atau kajian pustaka ala-ala skripsi dalam naskah)
  4. Kajian pustaka ini sering bermasalah, karena tak jarang saya menemukan naskah yang isinya 60% kajian pustaka, sisanya baru pengantar, metode, dan temuan dan pembahasan.  Padahal, temuan dan pembahasan harus menjadi bagian dari naskah yang paling besar porsinya.
  5. dan beberapa masalah lainnya yang diakibatkan malas membaca :(
Penulis yang melakukan PLAGIARISME!
Aduh, ini SUPER BIG NO! Paling sebal sama penulis yang berani-beraninya mengirimkan naskah yang isinya ada plagiarisme.  Mau satu paragraf atau satu kalimat, plagiarisme tetaplah plagiarisme. 


Penulis yang mengirimkan naskah yang sama ke beberapa jurnal yang berbeda pada saat yang bersamaan!
Ini juga TIDAK BOLEH, ya?  Sangat tidak etis dan tidak sopan. Kalau belum tahu tidak apa.  Tetapi, sekarang tahu, kan? :) Jadi, jangan.  Jika sudah mengirimkan satu naskah ke satu jurnal.  Tunggulah sampai ada keputusan diterima atau ditolak.  

Kalau tidak sabar, kirim posel ke jurnal dan beri tahu editornya bahwa kita akan menarik naskah (buatlah alasan apapun yang terdengar sopan, misalnya karena ada konflik dengan penulis lain, kesepakatan dengan penulis lain, dst.).  Jangan bilang "karena proses di jurnal ini terlalu lama bla bla bla dan marah", karena siapa tahu nanti masih butuh untuk mengirimkan naskah ke jurnal itu ;).

Penulis yang pelit tidak ingin mengeluarkan modal untuk: menerjemahkan pada ahlinya atau meminta bantuan untuk menyunting naskah agar sesuai dengan EYD.
Jurnal saya hanya menerima naskah dalam bahasa Inggris.  Sedihnya, hiks, hampir 80% penulis lokal Indonesia memasukkan naskah yang diterjemahkan oleh Google Translate!  ATUHLAH... PLISSSS. 

Ada juga penulis yang tidak bisa menulis dengan baik dan benar.  Koma tertukar dengan titik.  Spasi sebelum koma atau titik, dan seterusnya.  (Penulis seperti ini jauh lebih sedikit, sih, tapi tetap ada.) 

Apa lagi yang TIDAK BOLEH kita lakukan jika ingin naskah kita dimuat di jurnal? 

Saya lanjut di tulisan berikutnya, ya?

Tasmania, 16 Januari 2020



Comments

Popular posts from this blog

Memboyong Keluarga Kuliah di Luar Negeri: Bagian 1

Is PhD REALLY a Lonely Journey?: My "Crowded" Journey

Jangan asal SCOPUS®